Di pertengahan tahun 1990-an, ada satu berita yang cukup menarik saya lihat di TV, yaitu tentang komitmen aparat dalam memberantas premanisme di Jakarta. Waktu itu saya masih kuliah di Institut Seni Indonesia di Jogja. Nah, yang menarik buat saya ketika menonton proses penangkapan para preman ini, selalu bertelanjang dada dan dipenuhi tato sana-sini...dan entah dengan maksud apa, kameramen berulang kali menyoroti fokus pada tato-tato mereka.
Pikir saya waktu itu, semoga saja bertato bukan menjadi salah satu kriteria para aparat itu dalam mengklasifikasikan seorang preman. Lha gimana, saya sekolah di sekolah seni dan dikelilingi para sahabat yang begitu bangga dengan tato di badannya. Ngeri aja kalau tiba-tiba sahabat2 saya itu juga kena "garukan" padahal mereka kan nggak jahat ;-). Belum lagi kalo seandainya ada salah satu nenek dari pedalaman maen ke Jakarta pengen ikutan belanja di Mangga Dua...tato-nya dari ujung jari tangan sampe ujung jari kaki, gimana ngumpetinnya supaya aparat nggak curiga? (Well, ok...yang terakhir ini sepertinya imajinasi saya aja, hehehe).
Keingintahuan saya tentang tato Dayak dimulai ketika menonton tayangan di TV tentang garukan preman tersebut dan iseng2 menggoda salah satu teman yang badannya full dihiasi tato, sampai sulit menemukan space kosong untuk nambah tato.
"Tuh, yang ditangkapin tato'an semua, emang kamu nggak takut ntar dikira preman?",
"Aku lebih takut ditangkap gara2 ketahuan nyolong ayam daripada tato-an..hehehe!"katanya.
"Kenapa tho kamu kok seneng banget ditato?",
"Lha, namanya 'cah seni (baca:anak seni). Yo mestinya nggak cuma berkarya di media lain aja, badan sendiri juga bisa jadi media berekspresi lho. Lha, kamu yang aneh, orang Dayak kok malah nggak tato'an? Padahal motif tato Dayak itu luar biasa indahnya lho, Ran! Nih liat, aku punya satu motif, katanya ini motif tato Dayak."
Kebetulan teman saya ini orang Jawa asli.
Wah, kalau orang lain aja begitu mengenal dan mengagumi tato Dayak, kok saya malah bingung kalau ditanya-tanya kenapa ya orang Dayak itu bertato. Jadilah kemudian saya mulai cari-cari bahan literatur tentang tato Dayak dan tidak lupa memasukkan topic ini menjadi salah satu yang saya "kejar" di Tugas Akhir perkuliahan saya.
Perjalanan di tahun 1999, selama kurang lebih 2 bulan di sepanjang hulu-hilir sungai Mahakam Kaltim berpindah-pindah dari satu kampung Dayak ke kampung Dayak lainnya sedikit banyak menjawab hasrat saya untuk tahu kenapa orang Dayak jaman dulu (dan masih sedikit tersisa jaman sekarang) melakukan ini dan itu? Termasuk salah satunya tentang tato.
Perjumpaan dengan "Puy Pabawe" (waktu itu 70-an tahun umurnya), seorang nenek dari Dayak Kenyah Lepo' Tau dan dari golonga Faren (bangsawan) di kampung Datah Bilang adalah perjumpaan pertama saya secara langsung dengan keindahan tato Dayak ;-).
Pikir saya waktu itu, semoga saja bertato bukan menjadi salah satu kriteria para aparat itu dalam mengklasifikasikan seorang preman. Lha gimana, saya sekolah di sekolah seni dan dikelilingi para sahabat yang begitu bangga dengan tato di badannya. Ngeri aja kalau tiba-tiba sahabat2 saya itu juga kena "garukan" padahal mereka kan nggak jahat ;-). Belum lagi kalo seandainya ada salah satu nenek dari pedalaman maen ke Jakarta pengen ikutan belanja di Mangga Dua...tato-nya dari ujung jari tangan sampe ujung jari kaki, gimana ngumpetinnya supaya aparat nggak curiga? (Well, ok...yang terakhir ini sepertinya imajinasi saya aja, hehehe).
Keingintahuan saya tentang tato Dayak dimulai ketika menonton tayangan di TV tentang garukan preman tersebut dan iseng2 menggoda salah satu teman yang badannya full dihiasi tato, sampai sulit menemukan space kosong untuk nambah tato.
"Tuh, yang ditangkapin tato'an semua, emang kamu nggak takut ntar dikira preman?",
"Aku lebih takut ditangkap gara2 ketahuan nyolong ayam daripada tato-an..hehehe!"katanya.
"Kenapa tho kamu kok seneng banget ditato?",
"Lha, namanya 'cah seni (baca:anak seni). Yo mestinya nggak cuma berkarya di media lain aja, badan sendiri juga bisa jadi media berekspresi lho. Lha, kamu yang aneh, orang Dayak kok malah nggak tato'an? Padahal motif tato Dayak itu luar biasa indahnya lho, Ran! Nih liat, aku punya satu motif, katanya ini motif tato Dayak."
Kebetulan teman saya ini orang Jawa asli.
Wah, kalau orang lain aja begitu mengenal dan mengagumi tato Dayak, kok saya malah bingung kalau ditanya-tanya kenapa ya orang Dayak itu bertato. Jadilah kemudian saya mulai cari-cari bahan literatur tentang tato Dayak dan tidak lupa memasukkan topic ini menjadi salah satu yang saya "kejar" di Tugas Akhir perkuliahan saya.
Perjalanan di tahun 1999, selama kurang lebih 2 bulan di sepanjang hulu-hilir sungai Mahakam Kaltim berpindah-pindah dari satu kampung Dayak ke kampung Dayak lainnya sedikit banyak menjawab hasrat saya untuk tahu kenapa orang Dayak jaman dulu (dan masih sedikit tersisa jaman sekarang) melakukan ini dan itu? Termasuk salah satunya tentang tato.
Perjumpaan dengan "Puy Pabawe" (waktu itu 70-an tahun umurnya), seorang nenek dari Dayak Kenyah Lepo' Tau dan dari golonga Faren (bangsawan) di kampung Datah Bilang adalah perjumpaan pertama saya secara langsung dengan keindahan tato Dayak ;-).
Setelah menggunakan berbagai macam strategi bujuk rayu (cucu-nya sebagai penterjemah) plus "disogok" tembakau buat rokok lintingan dan sirihnya, akhirnya saya berhasil membuat si nenek menyingkapkan ta'ahnya (semacam "rok" tradisional Kenyah) lebih ke atas untuk melihat detail tato dari ujung jari kaki sampai paha! Kulitnya yang sudah keriput membuat tato secara sepintas hanya berupa blok-blok hitam. Namun ketika dengan hati2 saya mengencangkan kulit si nenek, tampaklah ulir-ulir tato Dayak Kenyah yang begitu rumit dan motifnya luar biasa indah! Sebagai orang seni, apalagi seni visual, saya sampai speechless saking kagumnya! Dasar sudah punya naluri "detektif" mengalahkan Inspektur Gadget yang terkenal itu, semua yang diketahui sang nenek dan dia alami tentang tato di tubuhnya itu, saya explore habis-habisan...Buat saya mendapat pengetahuan langsung dari "the living source" merupakan pengalaman pribadi yang sangat berbeda ketika kita tahu dari buku2, dan itu tidak terbandingkan nilainya dengan apapun. Walaupun untuk membuat dia senang bicara, saya bela-belain menemani si nenek ikut menyirih...dan berjuang keras untuk tidak menghiraukan bau2an dan rasa sepat ketika menyirih ;-)
Cerita si nenek saya ceritakan kembali dengan "gaya" bahasa saya. Berhubung sumebr yang saya dapatkan ini dari Dayak Kenyah, maka Tato yang saya sharing-kan di sini menurut pemahaman sub suku Dayak Kenyah, dan bisa saja berbeda pemahamannya dengans sub suku Dayak lainnya.
Dulu, orang Dayak ditato tidak lepas dari konteks spiritual. Jika melihat berbagai motif ukiran atau lukisan khas suku Dayak yang terdapat di tiang-tiang dan dinding rumah, bening (gendongan bayi), sampek (sejenis gitar tradisional) atau pun sarung mandau (sejenis parang tradisional Dayak), maka motif tersebut merupakan transformasi dari bentuk-bentuk yang dipercaya oleh orang Dayak sebagai "roh" yang lebih tinggi dari manusia yang melindungi mereka. Demikian pula pada tato. Ada transformasi bentuk burung Enggang yang dipercaya sebagai penguasa alam atas, atau naga sebagai penguasa alam bawah, ada juga manusia (keturunannya yang telah meninggal dunia) dan tumbuh-tumbuhan. Dengan menggunakan tato tersebut, dipercaya para pelindung itu akan senantiasa bersama mereka baik ketika masih hidup maupun setelah mereka mati.
Dalam dunia kematian, semuanya serba gelap. Hanya mereka yang membawa tanda-tanda tertentu di tubuhnya lah yang akan dikenali oleh nenek moyangnya untuk di"selamatkan". Dan salah satu penanda yang sangat penting adalah tato. Semakin hitam tato yang bisa dibuat ketika masih hidup, semakin terang benderanglah cahaya tatonya dan makin berkilauanlah dia ketika sudah berada di dunia kematian serta semakin mudah nenek moyang mereka mengenalinya.
Tingkat kehitaman tato hanya bisa diperoleh dari jelaga yang berasal dari kayu yang dibakar yang kualitasnya bagus dan juga tergantung dari keahlian sang penato. Jelaga dilarutkan dengan bahan tumbuh2an tertentu, sehingga kehitamannya ketika meresap ke dalam kulit dapat terjamin.
Untuk pemakaian motif, tidak bisa sembarangan!. Motif-motif tertentu, seperti burung Enggang dan naga, hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan saja. Rakyat biasa yang coba-coba memakainya pasti akan kena tulah. Karena sebelum, selama dan setelah pembuatan tato dilakukan upacara ritual, dan tentunya tidak bisa asal-asalan membuat tato. Pernah satu ketika, ada orang biasa di desa yang sakit tidak sembuh-sembuh..ternyata setelah "didiagnosa" dia menato badannya menggunakan salah satu motif yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Maklum, jaman dulu kampung 2 Dayak itu terpisah2...dan kalau menemukan satu kampung lain ketika di perjalanan, para pemimpin kampung tersebut akan mengenali si tamu dan memberi penghormatan khusus ketika melihat tato bangsawan di badan tamunya ;-). Semakin rumit dan indah motifnya semakin tinggilah kelas sosialnya di komunitasnya. Dan yang kemudian terjadi pada si orang biasa ini, motif tato yang sudah terlanjur dipakainya ini harus dihancurkan dengan cara menghancurkan kulitnya juga, baru dia bisa sembuh.
Seorang perempuan Dayak Kenyah mulai ditato saat akil balik (menstruasi pertama), sebagai penanda ia sudah memasuki usia dewasa. Tato yang menghiasi sepanjang ujung jari kaki sampai pangkal paha dan ujung jari tangan sampai siku ini tidaklah dibuat dengan cara sekaligus, melainkan bertahap. Pada saat masa haid pertama beberapa ruas dan dilanjutkan kembali ketika ia menikah.
Tidak seperti sekarang yang menggunakan mesin air brush dan jarum suntik, cara pembuatan tato Dayak jaman dulu masih manual, yaitu dicap terlebih dulu menggunakan lempengan2 kayu yang sudah diukir (sebagai) mal, baru kemudian ditatah dengan bambu bermata sangat kecil untuk mengalirkan cairan jelaga hitam ke dalam kulit dan mengikuti alur motif yang sudah dicap terlebih dahulu. Cara manual ini sangatlah sakit dan bisa memakan waktu berjam-jam sampai dinyatakan satu tahap selesai. Sepanjang ditato tangis tidak tertahankan, namun itulah yang diyakini orang Dayak pada masa itu, ketika kita menjadi dewasa salah satunya adalah ketika kita mampu menahan rasa sakit.
Saya jadi ngeri sendiri membayangkan ketika Puy Pabawe bercerita sambil meraba-raba kulitnya sendiri dan sesekali menjerit mengekspresikan bagaimana sakitnya ketika itu... Waaahh, lebih baik saya nggak pernah jadi dewasa aja deh kalau harus sakit begitu...hiiiyyy...
Begitulah cerita Puy Pabawe tentang tato-nya. Lucunya, si cucu yang masih kelas VI SD yang jadi penterjemah saya waktu itu mengaku bahwa itu adalah pertama kalinya dia tauk tentang cerita dibalik tato sang nenek. Dia tahu bahwa dia adalah keturunan orang Faren, tapi dia tidak pernah tahu apa yang membuat dia disebut orang Faren, sampai akhirnya hari itu dia mendengar sang nenek bercerita.
Dan sampai sekarang, cerita sang nenek menginspirasi saya, bukan untuk segera membuat tato (karena saya dari kecil sampai sekarang paling takut sama jarum suntik ;-)), melainkan betapa pentingnya transformasi pengetahuan/knowledge transformation (dan prosesnya) mengenai seni dan budaya Dayak ini dari yang tua kepada yang muda. Dan sesungguhnya, anak-anak muda Dayak yang sampai hari ini masih tinggal di pedalaman dan setiap hari masih memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan nenek2/kakek2 semacam Puy Pabawe inlah yang merupakan "transformer" sejati ;-)
Cerita si nenek saya ceritakan kembali dengan "gaya" bahasa saya. Berhubung sumebr yang saya dapatkan ini dari Dayak Kenyah, maka Tato yang saya sharing-kan di sini menurut pemahaman sub suku Dayak Kenyah, dan bisa saja berbeda pemahamannya dengans sub suku Dayak lainnya.
Dulu, orang Dayak ditato tidak lepas dari konteks spiritual. Jika melihat berbagai motif ukiran atau lukisan khas suku Dayak yang terdapat di tiang-tiang dan dinding rumah, bening (gendongan bayi), sampek (sejenis gitar tradisional) atau pun sarung mandau (sejenis parang tradisional Dayak), maka motif tersebut merupakan transformasi dari bentuk-bentuk yang dipercaya oleh orang Dayak sebagai "roh" yang lebih tinggi dari manusia yang melindungi mereka. Demikian pula pada tato. Ada transformasi bentuk burung Enggang yang dipercaya sebagai penguasa alam atas, atau naga sebagai penguasa alam bawah, ada juga manusia (keturunannya yang telah meninggal dunia) dan tumbuh-tumbuhan. Dengan menggunakan tato tersebut, dipercaya para pelindung itu akan senantiasa bersama mereka baik ketika masih hidup maupun setelah mereka mati.
Dalam dunia kematian, semuanya serba gelap. Hanya mereka yang membawa tanda-tanda tertentu di tubuhnya lah yang akan dikenali oleh nenek moyangnya untuk di"selamatkan". Dan salah satu penanda yang sangat penting adalah tato. Semakin hitam tato yang bisa dibuat ketika masih hidup, semakin terang benderanglah cahaya tatonya dan makin berkilauanlah dia ketika sudah berada di dunia kematian serta semakin mudah nenek moyang mereka mengenalinya.
Tingkat kehitaman tato hanya bisa diperoleh dari jelaga yang berasal dari kayu yang dibakar yang kualitasnya bagus dan juga tergantung dari keahlian sang penato. Jelaga dilarutkan dengan bahan tumbuh2an tertentu, sehingga kehitamannya ketika meresap ke dalam kulit dapat terjamin.
Untuk pemakaian motif, tidak bisa sembarangan!. Motif-motif tertentu, seperti burung Enggang dan naga, hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan saja. Rakyat biasa yang coba-coba memakainya pasti akan kena tulah. Karena sebelum, selama dan setelah pembuatan tato dilakukan upacara ritual, dan tentunya tidak bisa asal-asalan membuat tato. Pernah satu ketika, ada orang biasa di desa yang sakit tidak sembuh-sembuh..ternyata setelah "didiagnosa" dia menato badannya menggunakan salah satu motif yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Maklum, jaman dulu kampung 2 Dayak itu terpisah2...dan kalau menemukan satu kampung lain ketika di perjalanan, para pemimpin kampung tersebut akan mengenali si tamu dan memberi penghormatan khusus ketika melihat tato bangsawan di badan tamunya ;-). Semakin rumit dan indah motifnya semakin tinggilah kelas sosialnya di komunitasnya. Dan yang kemudian terjadi pada si orang biasa ini, motif tato yang sudah terlanjur dipakainya ini harus dihancurkan dengan cara menghancurkan kulitnya juga, baru dia bisa sembuh.
Seorang perempuan Dayak Kenyah mulai ditato saat akil balik (menstruasi pertama), sebagai penanda ia sudah memasuki usia dewasa. Tato yang menghiasi sepanjang ujung jari kaki sampai pangkal paha dan ujung jari tangan sampai siku ini tidaklah dibuat dengan cara sekaligus, melainkan bertahap. Pada saat masa haid pertama beberapa ruas dan dilanjutkan kembali ketika ia menikah.
Tidak seperti sekarang yang menggunakan mesin air brush dan jarum suntik, cara pembuatan tato Dayak jaman dulu masih manual, yaitu dicap terlebih dulu menggunakan lempengan2 kayu yang sudah diukir (sebagai) mal, baru kemudian ditatah dengan bambu bermata sangat kecil untuk mengalirkan cairan jelaga hitam ke dalam kulit dan mengikuti alur motif yang sudah dicap terlebih dahulu. Cara manual ini sangatlah sakit dan bisa memakan waktu berjam-jam sampai dinyatakan satu tahap selesai. Sepanjang ditato tangis tidak tertahankan, namun itulah yang diyakini orang Dayak pada masa itu, ketika kita menjadi dewasa salah satunya adalah ketika kita mampu menahan rasa sakit.
Saya jadi ngeri sendiri membayangkan ketika Puy Pabawe bercerita sambil meraba-raba kulitnya sendiri dan sesekali menjerit mengekspresikan bagaimana sakitnya ketika itu... Waaahh, lebih baik saya nggak pernah jadi dewasa aja deh kalau harus sakit begitu...hiiiyyy...
Begitulah cerita Puy Pabawe tentang tato-nya. Lucunya, si cucu yang masih kelas VI SD yang jadi penterjemah saya waktu itu mengaku bahwa itu adalah pertama kalinya dia tauk tentang cerita dibalik tato sang nenek. Dia tahu bahwa dia adalah keturunan orang Faren, tapi dia tidak pernah tahu apa yang membuat dia disebut orang Faren, sampai akhirnya hari itu dia mendengar sang nenek bercerita.
Dan sampai sekarang, cerita sang nenek menginspirasi saya, bukan untuk segera membuat tato (karena saya dari kecil sampai sekarang paling takut sama jarum suntik ;-)), melainkan betapa pentingnya transformasi pengetahuan/knowledge transformation (dan prosesnya) mengenai seni dan budaya Dayak ini dari yang tua kepada yang muda. Dan sesungguhnya, anak-anak muda Dayak yang sampai hari ini masih tinggal di pedalaman dan setiap hari masih memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan nenek2/kakek2 semacam Puy Pabawe inlah yang merupakan "transformer" sejati ;-)
Tahun 2005, saya kebetulan ikut dalam ekpedisi Pegunungan Muller. Berangkat dari kota Banjarmasin, terus Tamiyang, Muara Teweh dan Puruk Cahu. Dari Puruk Cahu dengan menggunakan mobil Jeep kami mulai "naik" ke atar utara menuju Kampung Kalasin. dari kampung ini terus menggunakan perahu menembus air riam deras sungai Barito selama dua hari dan berakhir di Kampung Tumbang Topus. Kami rehat di Tumbang Topus selama 3 hari dan 2 malam. Kampung Tumbang Topus ebagai langkah awal untuk menuju puncak Muller. Di Tumbang Topus kami sempat menikmati musik dayak dan upacara-upacara tradisi kematian dan pengubatan Balian.
Pagi hari, dari kampung Tumbang Topus kami mulai bergerak ke utara menelusuri menuju Puncak Muller dengan berjalan kali. Waktu itu ada 14 rombongan yang ikut jalan kaki termasuk warga yang membawa bekal makan dan peraatan. Hari pertama di lalui dengan luara biasa , kami membuka kemah di tengah hutan belantara di Tebing Muller.
Membayangkan tidur di kemah di tengah hutan yang gelap (suara macam macam binatang malam). Siang itu. Puji Tuhan, seumur-umur baru pertama aku melihat pohon Ulin (kayu besi) yang besar dan tinggi (sepelukan orang dewasa). Pohon Ulin yang menjulang tinggi di hutan belantara (mudahan tak ada yang menebangnya sekarang yaa).
Hari kedua perjalanan dimulai lagi dengan jalan kaki, dari tebing Muller terus menuju Utara, kami menuju puncak. Dalam perjalanan yang menguras tenaga itu kami terus bergerak di tengah terjangan binatang Halimantek (jenis binatang Lintah yang biasa bertengger di daun atau renting-ranting dan kalau mencium bau darah bisa melompat menyergap). Pada akhirnya kami sampai juga di "puncak" Muller pada kira-kira pukul 10 pagi).
Sesuatu yang boleh di percaya dan aku sudah membuktikan, bahawa kalau kita berada di Tebing Muller, tuibuh kita terasa sehat dan segar, udara yang bersih dan sehat bahkan rekan yang terserang influenza bisa sembuh dengan udara Muller. Kita boleh munum air yang mengalir dari celah batu batu.
Dari puncak Muller kami terus menuju ke arah Timur dan menurun tebing menuju Sungai Mahakam. Kami tiba di anak sungai Mahakam menjelang petang. Di kampung (saya lupa namanya) yang merupakan anak sungai Mahakam kami jumpa dengan Orang Penihing dan Kenyah. Kami bermalam di pondok ini selama satu malam. (Lampau/ Lepau/pondok dengan atap sirap dengan bangunan tinggi). Lampau/ Lepau/ Pondok ini di huni oleh dua orang suami istri, ketika suami pergi ke ladang, istri membuat menyusun manik-manik yang indah di Lampaunya itu.
dari Orang Penihing dan Orang Kenyah itulah muncul cerita tentang Tatto.
Pada Orang Kenyah (sekali lagi kebetulan beliau berladang jagung dan Purey / padi) aku coba bertanya tentang Tatto yang ada di kedua bahu bahagian depan. Kisah Tatto itu mungkin agak panjang yaa, tetapi ringkasnya bahawa Tatto bagi lelaki Dayak adalah lambang kepahlawanan, kesejatian dan Maskulinitas. Seorang lelaki Dayak yang tiada bertato seperti seorang tiada harga diri.